Pages

About


meneh...
Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "


nih, waktu nampil

ni juga

Followers

Sample Widget

Sanggar Suluh

Sanggar Suluh
Rabu, 02 Februari 2011

Jendela Kreatifitas Member Teras Sastra Bulan Ini



 PECUNDANG
cerpen yadhi rusmiadi jashar


"Aku bukan pecundang!!!" ujarku lantang di suatu rembang petang saat gemawan berarak pulang.
"Hehehehe, hidupmu selalu dirundung kekalahan, dari detak ke detik dan hari membulan-bulani tahun, kau tetap saja selalu kalah. Grafik hidupmu terus menurun dari waktu ke waktu, hampir menembus titik nadir. Hah, kau selalu kalah. kalah... kalah..." ejek Saya. Amarah masih bisa kutahan, sebab kutahu Tuhan sangat sayang padaku.
"Ingat tanahmu yang tergusur yang membuatmu terdampar di belantara hutan kota metropolitan ini? Tanah yang sempat membuat hidupmu sedikit lapang itu kini menjadi pemukiman mati. Itu kekalahan pertamamu. Kau kalah... kalah ... kalah..." kembali Saya mengejekku. Sengit.
"Kawan, tanah itu tanah leluhur. Kau tentu tahu, unggangku, pemilik pertama tanah itu, mendapat gelar Pahlawan karena mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan tanah air ini. Hanya sekedar mengorbakan tanah seupil, untuk kompleks pemakaman pula, masak penuh perhitungan. Lagian tanah itu tidak digusur gratis." jawabku.
"Tapi kini kau tak punya tanah, toh. Tak punya lagi rumah dan ladang sayur yang juga ikut tergusur. Uang ganti ruginya lari kemana, hayo. Dan satu lagi kekalahanmu, istrimu minggat, anakmu tidak tahu sekarang di mana. Saya tidak yakin anakmu turut mantan istrimu. Jangan-jangan sudah dijual orang, jadi babu atau mungkin melacurkan diri... Duh... duh... duh... kalau ternyata benar, berapa banyak sudah kau menabung kekalahan. Kalah... kalah.... kalah." Saya mencecar dengan penuh sindiran. Amarahku sudah di ubun-ubun.
"Setiap manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri. Tuhan penuh kasih. Hidup mereka sudah ada dalam garisanNya. Ingat kawan, Tuhan tak akan menimpakan cobaan pada suatu kaum melebihi batas kemampuannya, ngerti kamu."
"Selompret... Tuhan kau bawa-bawa untuk menutupi kekalahanmu. Makan nih, bau kentut. Kau kalah... kalah... kalah... pecundaaaang!!!!"
"Diam kau. Dalam hidup tak ada kalah atau menang. Semua yang dialami manusia adalah pencerahan. Jangan kau anjurkan aku meloncat dari jembatan Ampera menuju dasar Musi."
"Kalau tanah tak digusur, aku belum tentu bisa mengenal kota metropolitan ini. Aku akan tetap terjebak dalam hirup-pikuk desa kecil bagai katak dalam tempurung. Kalau istriku tak minggat dan anak-anakku tak lari, aku mungkin tak diajarkan bagaimana rasanya tak bertanggung jawab pada orang lain. Seperti saat di dusun dulu. Sekarang aku belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal yang dulu kuabaikan karena aku sibuk menanggungjawabi orang lain...."
"Hallllaaaah.... kutu kuprettt... Simpan semua pencerahan itu. Itu hanya pengalihanmu atas fakta kekalahan yang bertubi-tubi menerjangmu. Kamu pengen rumahmu yang dulu, kan? Kamu pengen kebun sayur yang digusur dulu, kan? Kamu pengen beristri lagi, kan? Haah..., Itu burung lama tergantung, bulukan, tau!!! Hahahahahaha.... kamu... kamu... dasar pecundang, banyak alasan," tawa Saya memecah awan berarak menjadi lima bagian. Empat bagian ngacir, terbirit lari meninggalkan satu bagian yang tergagau pakam.
"Sudahlah... hidupku aku yang menanggung, rumah suatu saat kumiliki lagi, beserta ladang sayur dan istri baru," suaraku sudah tak keras lagi. Lirih.
"Kapan, bro? Kapan? Hahahahaha... Menunggu matahari berada sejengkal dari kepala. Hahahaha." Saya terus mengusikku dengan ejekan-ejekan pedas.
Pedas dan pahit. Begitulah kenyataannya. Aku terpaksa harus membenarkan beberapa ejekan Saya. Mungkin benar Aku adalah pecundang sejati. Sejak dilahirkan, kemalangan selalu merundungku. Umakku meninggal selang beberapa jam kelahiranku. Bak lalu menitipkanku pada munting, istri dari adik ibu. Selama dalam pengasuhan munting, sampai meranjak dewasa, selama itu pula kerap aku menyaksikan perbalahan besar munting dan mangsak. Setelah dapat berpikir, aku kerap merasa akulah yang menjadi penyebab perbalahan mereka. Aku minggat, pulang ke rumah asal, rumah unggang yang didiami bak.
Aku menikah juga karena terpaksa. Eh, maksudnya dipaksa. Ceritanya, aku dijebak dan dipaksa menikahi gadis yang sudah bunting dua bulan. Ceritanya, malam itu aku bertandang ke rumahnya. Biasa, anak muda yang baru beranjak dewasa. Baru setengah jam ngobrol di ruang tamu, di luar rumah orang sudah ramai. Ada wak kadus juga. Aku lalu dibawa ke rumah wak kadus dan disuruh menandatangani surat perjanjian untuk menikahi gadis yang baru sekali kutemui. Aku dan bak tak dapat berbuat banyak mendapat desakan warga hampir separuh dusun. Akhirnya, aku mengawini gadis yang sudah bunting dua bulan! Jadilah dia istriku. Tapi, aku menerimanya dengan besar hati. lagi pula istriku tidak banyak tingkah, patuh, dan mampu mengambil hati bak yang mulai sakit-sakitan. Sebelum anak pertamaku lahir, bak sudah pulang.
Dalam hidup, satu-satunya kebahagiaan yang tak terkira dan kuanggap sebagai kemenangan adalah saat anak-anakku lahir.
Lahir. Tapi, jangan anggap pula kelahiran anak-anakku sebagai kekalahan. Ketiga anakku bernasib sama, tertahan di rumah sakit kabupaten dan keluar bukan dari lubang semestinya. Lahir lewat perut!!! Istriku pendarahan serius. Anakku tertahan karena biaya operasi kurang. Duh... Sampai masuk koran, lagi.
"Kenapa merenung," usik Saya lagi.
"Memikirkan segintir kemenangan yang pernah diraih?"
"Hhhhhh"
"Atau, kau ingin merasakan menang dengan mudah?
"Atau kau ingin melupakan tumpukan kekalahanmu?"
"Hahahahahahaha... Hidup jangan terlalu lurus, bung. Bengkok-bengkok sedikit ya tidak apa-apa." ujar Saya beruntun. Menghipnotisku.
"Ah, Tuhan ajari aku memaknai kekalahan. Hidup semakin sulit. Sehari kadang tak makan. Petak kost yang kusewa di 22 Ilir, keseringan telat bayarnya. Mulut ibu kost yang datang menagih terpengat-pengot meninggalkan gerutu sambil tak lupa menebarkan ancaman pengusiran. Becak yang baru kusewa kadang berlari mencong menghindari uberan Pol PP. Aku benar-benar terpuruk di sini. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hidup seperti semula. Hanya azan dari Masjid Agunglah yang selalu mengelus dadaku. Melembutkan hati agar aku tak berbuat aneh dan nekat. Tapi, sampai kapan aku bisa bersabar dan ikhlas?" ujarku lirih tanpa suara.
"Hmmmm.... kawan, rupanya kau menyadari kekalahanmu. Kasihan. Tidak apa kawan. Aku bersamamu. Aku tahu apa yang berkecamuk di otak dan hatimu," kini suara Saya begitu lembut. Mendayu-dayu. Menggamit ruang hatiku yang sedari dulu memang telah ragu.
"Kawan... Hidup ini sulit dan berat. Kau hanya butuh secuil keberanian untuk mengembalikan hidupmu yang dulu. Belilah linggis dan obeng. Bila uang masih cukup, beli pula pemotong rantai."
"Ah, tidak. Aku tahu kau takkan punya keberanian untuk melakukan itu. Kau lihat puncak menara jembatan Ampera. Kau akan menemukan kebahagiaan di sana. Panjatlah kawan. Tuhan menunggumu di sana. Dia akan janjikan sebuah rumah dan istri yang cantik. Buatlah kontrak denganNya. Ya, di sana di ujung telunjuk Saya."
Aku memanjat salah satu menara kembar jembatan Ampera. Menuju puncak. Lalu angin bersiur kencang membuat rambut dan pakaianku melambai-lambai. Namun, di puncak menara, aku tak menemukan Tuhan. Aku hanya menemukan iblis yang tersenyum menawarkan perkawanan. Mukanya hitam, rambut jarang, kupingnya yang besar dan runcing sesekali saling bersentuhan dihembus angin kencang. Urat-urat yang membintat di matanya dan giginya yang taring semua, tak sedikitpun membuatku takut. Kukunya yang panjang kecoklatan mengimbangi tangannya yang melampai panjang. Senyumnya kembali mengembang, membujuk tanpa suara. Sementara di bawah menara jembatan Ampera, deru mobil dan motor mengeluarkan suara bising, terdengar jelas dari atas menara. Di sungai, ketek dan tongkang berlalu lalang membawa penumpang, hasil bumi, dan bahan bakar minyak oplosan. Menyeberang atau mengantar orang ke pulau Kemaro.
Yah, biar dramatis aku berteriak kencang agar orang berkerumun menyaksikan aksi nekatku. Akan kubiarkan tim penolong memanjat menara dengan susah payah. Setelah mereka dekat, aku akan meloncat ke bawah. Tinggal pilih, ke aspal jembatan yang keras dengan kepala duluan, atau ke sungai yang menawarkan banyak kemungkinan. Ah, lebih baik ke sungai Musi. Aku hanya tinggal menunggu momen yang pas untuk terjun. Ya, penolong sudah dekat. Lalu, tanpa aba-aba, Aku meloncat bebas ke sungai, memilih pas pada sampah potongan-potongan bambu yang hanyut. Kemudian, mulut orang yang berkerumun menganga lebar melihat tubuh ringkihku meghunjam sebilah potongan bambu yang runcing, menusuk dari pantat tembus ke leher. Persis kambing guling. Sebagian orang pasti memalingkan muka, ngeri.
"Haaah, tidak kawan. Aku bukan orang bodoh yang tak punya iman. Sudah kubilang, jangan selalu kau anjurkan aku memanjat menara jembatan Ampera." Aku mengeluh panjang.
"Tolooool..., Dasar pecundang!!!"
"Cukuup.... Jangan kau sebut lagi aku pecundang. Nanti kubunuh kau." amarahku yang sudah mendingin kini kembali membara.
"Hahahahaha.... Pecundang sepertimu mana pernah punya keberanian membunuh."
"Jangan buat aku berbuat kasar. Aku sudah muak padamu."
"Selagi kau tak mau menjadi pemenang dalam kehidupan, sekaliiii saja, Saya akan tetap menyebutmu pecundang... orang kalah... kalah.... kalah," kembali Saya menyindir sambil tertawa parau.
Aku sudah tak tahan, amarahku sudah tak dapat kukendalikan. Aku masuk ke petak kost, mengambil sebilah pisau lalu kembali keluar. Petang mulai meremang. Sepi.
"Huahahahaha.... Pisau dapur tumpul!!! Kau takkan berani membunuhku. Tak berani!!! Pecundang."
"Cukup.... cukup. Aku bukan pecundang. Hah, di mana kau. Hayo jangan bersembunyi. Kau belum tahu betapa tajamnya pisau dapur yang kau anggap tumpul ini." Aku benar benar kalap.
"Hahahahaha... Saya tidak bersembunyi, pecundang. Saya di lehermu. Eiitt..., tidak. Sekarang Saya ada di pergelangan tanganmu...."
Belum selesai Saya berujar, tiba-tiba, "Hhiiiih...."
Bressss.... dengan kekuatan penuh, pisauku mencari Saya. Darah segar pun mengalir dari pergelangan tanganku.
Gelap.***
~~muaraenim,30/12/10~~


Keterangan:
Unggang: kakek
Bak: ayah
Umak: ibu
Munting: bibi, istri dari adik ibu.
Mangsak: paman, adik ibu.

PROKORUPTOR
Karya Afdal Afwan 

Kami, Para Pengkhianat Bangsa, dengan ini mengucapkan Selamat atas divonisnya Bapak Koruptor GAYUS TAMBUNAN hanya dipenjara tujuh tahun dan didenda tiga ratus juta rupiah. Hal-hal yang mengenai keadilan penegakan hukum dan lain-lain, diadili di akhirat nanti dengan cara seadil-adilnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sabang sampai Merauke, 19 Januari 2011.
Atas Nama Para Pengkhianat Bangsa,

Manusia Bedebah Nusantara
Selasa, 07 Desember 2010

Jendela Kreatifitas Member Suluh Minggu Ini



Karya Andi M E Wirambara

KETIKA AKU TAK BISA TIDUR
:kau yang kutemui di sela senja itu

aku tahu ini sudah malam --dinihari bahkan
tapi yang kuingat malah senja, sejewantah
siluet meredup-nyala pertemuan kita.
tapi tetap saja ini malam, dan terlalu cepat
untuk senja memerah pipinya kupuji-puja
sekarang. pun itu karena kau ada. ada karena kau.

aku ingin tidur, sebab aku mengantuk. hanya
ada yang menyalak di bawah bantalku yang
botak, seolah tak sudi untuk kepala diletak.
lalu kuangkat bantalku, ada rindu meringkuk
seperti janin di rahim ibu. janin usil yang merubah
jenis kelaminnya tiap lima menit waktu. rindu 
mungil nan gempal, rindu yang tak mampu
kutahan; untuk kucubiti pelan-pelan

rindu itu mendadak berteriak. macam merak
dicolek-goda sekelompok gagak yang bersaing
dengan setengger jalak. hingga riuh begitu
meledak. pekik mengacak kantung mataku
yang remang. aku jadi rindu suaramu, rindu
apa-apa tentang kau. kudamba.

aku ingin tidur, tapi waktu masih saja berjalan
seperti langkah kakimu yang menyisa jejak
di mataku. menyisa waktu yang berceceran
dan kuhitung-hitung; satu rindu, dua rindu
satu waktu, rindu berlalu, tiga rindu, em...
...zzzz....

(Malang 2010)


Karya Dian Novitasari Darmawan


Salamku Buat Ibunda

Ibu...
Apa kabarmu hari ini? 
Adakah kau sempat rehat sejenak
Dari bangunmu pagi tadi
Saat Sang mentari masih belum beranjak dari peraduannya

Memasak makan pagi buat keluargamu
Meski kantuk masih terasa di pelupuk matamu
Menyiapkan baju yg akan dipakai ayah 
Yang engkau setrika rapi penuh cinta
Tak lupa memeriksa tas sekolah adik
Supaya tak ada yg terlupa

Aku tahu engkau lelah
Itu terlihat dari parasmu
Tapi engkau tetap tersenyum ramah
Dan menganggap semua itu lalu

Ibu...
Kini aku berada jauh darimu
Bukan ku tak cinta
Bukan ku tak sayang 
Aku hanya ingin menguji kasihku padamu

Adakah jarak membuatku melupakanmu?
Adakah jarak membuatku alpa akan dirimu?
Dan adakah jarak meghilangkanmu dari benakku?

Tidak,ibu...
Tidak,,
Aku malah semakin menyayangimu
Aku jadi merindumu
Dari jauh kusampaikan ,,
Aku sangat mencintaimu...

( Dumai, November 2010)


Karya Ika Ta'Kan Putus Asa


Balada Pengemis Tua

Bersimpuh ia bersila
ditepian jalan penuh onak
menengadahkan topi butut carut marut
demi sebuah kata
:hidup

Buntu lagilagi memekik dalam ayunan migren
pun, irama perut mengiringi dentuman hati menggerus kristalkristal suci

Kaki berucap ingin beranjak
tapi tak kuat
rapuh telah menepuh
:sepuh

Malu tertunduk dalam tatapan nista seribu bahasa
apa daya, rima batinnya lirih

Untuk amanah suci menanti tercabutnya ruh dalam ketakberdayaan bersama rapuh dalam senja yg telah menua tanpa sanak tanpa saudara

Di tepi jalan itu ia masih bersimpuh tertunduk dalam sila bersama topi butut carut marut. . .

JKT,30112010
Rouzix Zahra as_syeefa


Karya Dian 'Sisy' Arlika


AKU ADALAH PEREMPUAN LIAR DALAM SELIMUT MU


cinta yang kau minta dengan iba dan rayu
menjadi bomerang untuk ku
jelas ini bukan bumbu penyedap percintaan
kukatakan ini adalah serbuk penyiksaan yang kau bungkus kedalam selimut ku. lalu kau balutkan ke tubuh ku yang baru diserang sakit
kau jilati tubuh ku dengan lidah mu yang kau olesi bubuk cabe dari seorang balian
kau tahu, jauh sebelum kita mengulum senja kala itu
aku adalah perempuan yang liar terhadap dunia dan aturan dalam undang-undang yang tak pernah disahkan oleh siapapun
tetapi aku selalu menjajakan cinta pada makhluk iba
yang ku kenal lewat rutinitas tengah malam, sore atau siang
begitulah,
ku pikir kau begitu curiga
padahal curiga selalu membuang wajah ku dalam rindu
ketika kau melihat bening mata ku
kau katakan seperti sedang meminum juice sambil menyelam dalam sungai jernih
dan aku menunggu mu di tepian, siap menghangatkan mu jika tubuh mu yang di denyar cahaya menjadi dingin. Sambil ku dedahkan pesona ku kepada setiap baha duri yang tersesat mencari cinta maka aku siap membelatikan sisa ciuman ku yang memburaikan syahwat.



Teras Puitika, 5 Nov 2009


Karya Afdal Afwan


PERSEMBAHAN

sebelum senja, di daerah terlarang
dara rela saja dibikin korban;
dihunus dengan belati berulangkali,
padahal dibelatinya ada setan.

dara telah gelap mata, dan disangkanya
inilah persembahan sebagai tanda pengorbanan
dari segala ketulusan dan kemurnian yang diberi nama, cinta!

tapi malam harinya
apakah segalanya masih tetap biru?
atau sekedar nuruti naluri yang memburu?
sedangkan tubuhnya dilumuri darah,
warna darahnya merah kehitaman

jadi jejak sesal abadi!



Karya Q Alexander Setiawan


Kalam

Ilalang meliuk bak penari bar
mendeskripkan lantangan angin merajai lamunan

sepenggal ranting bertaut
melahirkan kidung penantian
menebar senyum haus perasaan

ilalang pun tertunduk malu
menyaksikan desiran angin berlalu

hanya kalam..

hanya kalam Laa Ilaaha illallah Muhammadurrasulullah;
mampu menguasai hati perih


Karya Mumbang Tuanku


Anjing Itu Hapal Namamu



sesakit apa jiwa jikalau anjing itu selalu berteriak namamu
dalam gonggong yang kejam
seperti ta'i kau berkata-kata
persetan wibawa hanya bisa menjilat sekeping logam
demi harga diri yang tertataih

anjing itu juga sesekali menyebut namaku
sebentar lagi mungkin nama petinggi

atau anjing lupa
kalau kita sedang tertawa

(Mumbang)
Senin, 29 November 2010

JENDELA KREATIFITAS MEMBER SULUH MINGGU INI

-Karangan Afdal Afwan-


DONGENGAN KATAK DALAM TEMPURUNG

1
Rahasia katak dalam tempurung
Lantang garang meraungraung.
Ditungkup tempurung menjaja kata,
Kata usang tanpa makna:
Borok booo’… Borok booo’…

2
Begitu katak keluar dari tempurung,
Diam-diam temboloknya mengkerut
Nyalinya ciut, raungannya menyusut.

Ditelannya dalamdalam suaranya;
Dalam pembuktiannya bengong sendiri,
Lihat dunia luar, tenyata gila sekali.

Agar tetap terkesan maha tau
Katak menyamar menjadi beruk:
Tutup mata
Tutup telinga
Tapi mulut masih mengeluarkan suara:
Borok booo’… Borok booo’…

3
Semula katak makan serangga
Kini berganti makan spagety.

Berlagak tenang biar dikatakan wibawa
Bagaikan padi penuh berisi.

Seakan sudah pernah melanglang buana
Katak berbicara bagaikan maha raja
Tau dan bijak akan segala-galanya.

4
Kini katak mulai ganti profesi
Dari propokator jadi politisi;
berjas safari juga berdasi.

Tak mau merasa ketinggalan,
Katak ikut nampang di TV.
Cuapcuap bagaikan selebriti,
hanya populer karena sensasi.

5
Katak masih belum puas hati,
Buat lagu lalu rekaman sendiri.

Album pun rampung , siap diedarkan.
Lagunya merdu mendayudayu, berlirikan:
Borok booo’… Borok booo’…


JANGAN SAYANG

Pohon Surga
Ranum buahnya yang diberinama Khuldi;
Memberitahu, betapa nikmatnya;
Cinta Adam kepada Hawa
Antarkan manusia pertama ke dunia

Jangan kau pinta itu padaku, sayang
Seperti Adam demi Hawa.
Nanti Tuhan marah!

Jangan lagi kau rayu aku begitu, sayangku
Buktikan segalanya padamu!
Sedangkan Adam dan Hawa saja
Dicampakkan dari Surga ke Dunia

Lantas, bagaimana nantinya nasib kita?
Selain ke neraka,
Kemana lagi kemungkinannya?


-Karangan Mahatma Muhammad- 

ruang gelap nan tumpah
; teruntuk Youri Kayama


1.

satu puisi dua puisi tiga puisi dan seterusnya puisi kita kunyah kita mamah kita muntahkan imaji kita tumpah dari segala resah. menjelma namamu pada setiap helai kertas entah yang ke berapa menghikmati persebutuhan permainan rasa dengan rangkaian katakata pada sebuah sudut yang kita sebut ruang gelap nan tumpah
-apa lagi yang kita cari
dari lembaran kertas dan secangkir kopi?

2.

berikutnya kita mengorek senyum dan mencabik cabik naskah sandiwara hingga kita bernyanyi menari melonjak lonjak tak tau diri. percakapan kita mengalir tanpa pernah menjumpai muara karena memang sudut waktu menuntut untuk tidak pernah lelah payah mencari nama kita sendiri di persimpangan yang kita sebut ruang gelap nan tumpah
-siapa yang akan hentikan
jika kapal kertas kita berlayar dengan lautnya secangkir kopi?

3.

seterusnya kita tidak akan tidur karena sudah berjanji mengarungi bumi yang tak pernah tidur meski terkesan mendengkur. kita akan diskusi beranekarupa beranekawarna beranekatawa hahahaha hantar kita menulis sesuatu tak terduga yang dicintai sekaligus dicaci maki dari berbagai lapis tipis maha manusia
-ruang gelap nan tumpah
“belum akan mati dengan lembaran kertas dan secangkir kopi”

4.

nah waktunya tiba
bersoleklah untuk
janji kita
buku kita

Padang 26.11.2010
 


-Dian Novitasari Darmawan- 

CINTA ITU ADA

Cinta...
Dimanakah kau berada?!!
Apakah kau mengikuti sang angin?
Terbang dan berhembus kemana pun kau suka
Ataukah mengalir bersama sang air
Mengikuti arus hingga sampai ke muara yg kau tuju

Berusaha menggapaimu
Tapi aku tak bisa
Kau terbang menjauh

Berusaha menggenggammu
Tapi aku tak kuasa
Kau menetes jatuh
mencari muaramu

Mencari...
Mencari...
Dan mencari...

Aku terpaku
Aku tergugu
Terdiam termangu
Adakah cinta itu?!!

Namun akhirnya kusadar
Cinta itu ada
Cinta itu tumbuh sejak aku menghirup udara di dunia ini
Cinta yg selalu hadir menemaniku
Cinta itu ada di hatiku
Ada di hatimu
Ada di hatinya
Dan ada di hati mereka

Tak perlu mencarinya
Karena cinta itu ada
Bersarang di hati kita..
 
Senin, 22 November 2010

ORDE KEMATIAN

cerita pendek yadhi rusmiadi jashar

HUJAN membakar kota dalam dingin yang membusukkan darah. Hujan telah menghanguskan sungai kuning di bawah Jembatan Ampera.
Kota yang dibakar hujan bersama linangan orbituari, telah diberitakan para nabi kemanusiaan pada seminar HAM sedunia. Hujan telah membakar kehangatan dan kedamaian istirahat Mahatma Ghandi, dan Hitler serta Westerling bercekakakan sambil memakan cacing tanah yang menempel di tulang tengkoraknya. Hujan membakar kubur mereka dalam aroma yang kontrastif.
“Demi manusia, telah turun hujan-Ku, untuk mengikis kebodohan mereka. Tetapi mereka selalu lupa bahwa Aku telah begitu banyak menguras air mata sampai Aku tidak dapat berhenti lagi.”
Dalam hujan.
Ia memakai mantel yang terbuat dari seling baja. Kemudian ia mengambil bohlam 2000 watt yang berpijar dan memindahkan cahayanya ke saku mantel. Mr. Hegel menyisi-nyisi di antara lipatan-lipatan hujan dan menghampiri bayi-bayi tabung yang masih berserakan di jalanan.
Ia membagikan cahaya bohlam 2000 watt kepada mereka. Bayi-bayi tabung berjingkrat-jingkrat. Cahaya bohlam 2000 watt menyinari dada mereka yang telanjang dengan sinarnya yang gilang gemilang: menyinari kegelapan masa depan umat sejagat yang lelah berharap Sang Penyelamat membawa obor penyejuk kepala.
Setelah puas bermain, mereka pasti akan pulang ke rumah masa lalunya. Mereka akan kembali menekuri episode selanjutnya dari puisi konkret kehidupan mereka.
Bayi-bayi tabung mendatangi Mrs. Hegel yag tengah membersihkan ceceran darah pada dinding-dinding sejarah yang kotor. Seribu tanya bermuncratan dalam kepala mereka. Seribu kebingungan memenuhi labirin otak mereka.
Mrs. Hegel mendelik, membungkam keingintahuan bayi-bayi tabung pada kotoran di dinding itu. Ia lalu memunguti satu persatu bayi–bayi tabung dan mengurung mereka di gudang tempat persediaan makan mereka 1314 hari tersimpan.
Di gudang itu pula, Mrs. Hegel mengalengi beras berkutu bercampur kerikil untuk makan mereka pukul tiga.
“Aku ingin menangkap angin,” suluk seorang bayi tabung sambil berancang-ancang mengejar milenium ketiga yang bertemperasan menerobos celah-celah dinding di gudang tanpa satupun bayi-bayi tabung mampu menghalanginya.
“Tetapi, kita terkungkung.” Bayi tabung yang lain menimpali dengan pesimisme yang akut.
“Aku ingin menangkap angin yang terperangkap di gudang ini.”
Bayi-bayi tabung berlarian di dalam gudang, memburu angin yang terperangkap lalu membakarnya dengan cahaya bohlam 2000 watt. Mereka tertawa sambil menggaruk koreng di hidungnya, menertawakan Mr. Hegel yang terbakar di antara tiga puluh dua tahun jalan tol yang mengangkangi lipatan-lipatan air hujan.
Mr. Hegel tengah menunggu pawai boneka-boneka bersenjata, menunggu seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kemungkinan, menunggu arak-arakan kematian di tengah badai yang menghanyutkan daki-daki sejarah pada dinding-dinding zaman.
“Aku hendak mencatat kebenaran sejarah,” ujarnya dalam orasi diam di kerumunan suara-suara hatinya. Kebisingan suara-suara di luar jatidirnya mengacaukan arus darah di saluran vena.
“Dan, ingat-ingatlah kawan, kita tidak dapat mencatat kembali sejarah agar sesuai dengan keinginan dan harapan kita,” kata Agathon, sang penyair Yunani, mengingatkan Mr. Hegel yang terperangkap dalam mitos-mitos Jules Verne: Idealisme para futuris.
Hujan masih saja berkepanjangan menghapus noktah-noktah sejarah dalam lembaran kitab Negara Kertagama. Hujan telah menghanyutkan kotoran aliran sungai Musi di dalam benak Mr. Hegel. Bayi-bayi tabung di gudang dan Mrs. Hegel yang tengah menanak nasi di dapur adalah sejarah aliran kotor sungai Musi yang dilupakan Mr. Hegel.
Mr. Hegel terlalu asyik mencatat sejarah kejayaan kedatuan Sriwijaya dan keperkasaan Mahapatih Gajah Mada. Ia melupakan sejarah dirinya sendiri dan bayi-bayi tabung serta Mrs. Hegel yang hidup digenangi sejarah yang kumuh.
“Aku ingin menangkap angin yang menghembuskan kebenaran sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara derap lars baja dan hilir mudik panser yang membadai. Seorang wartawan yang meliputnya hanyut diseret arus sejarah topi-topi baja.
“Anda harap minggir!”
“Tetapi, saya hanya menunaikan misi Tuhan.”
“Kami tidak peduli. Harap minggir!”
“Saya hanya ingin mencatat sejarah.”
“M I N G G I R !!”
Dan…
Mr. Hegel minggir setelah tonjokan keras singgah di mukanya. Mr. Hegel terbanting setelah popor senjata melekat di tulang pipinya. Ia tertelungkup mencium genangan air mata berjuta-juta kaum Sudra. Mantelnya yang berisi cahaya bohlam 2000 watt terkoyak di bagian punggung seluas pulau Jawa.
Bayi-bayi tabung menangis di gudang. Mereka telah membakar habis angin. Mrs. Hegel pun menangis di dapur setelah menghabiskan berliter-liter angin untuk menanak nasi berkerikil. Tujuh ribu enam ratus sembilan puluh sembilan janda dan anak yatim menangisi kematian suami dan bapak tercinta mereka dalam pergolakan tanpa nama. Sementara seseorang itu menghabiskan waktu menjual angin yang terbungkus jaket warna-warni di tengah hujan mulai reda.
“Angin…… Angin………. Angin. Siapa mau beli. Tidak mahal, Cuma seharga ketulusan dan optimisme yang liat,” teriak seseorang itu.
Tetapi, tidak ada seorangpun mau membeli angin di tengah badai ini. Orang-orang telah memiliki persediaan angin yang cukup untuk hidup mereka beberapa jam ke depan. Setelah itu, mereka hanya mampu memompa mimpi dan hanya ingin mengangon angan sebagai pengganti angin.
Mr. Hegel merangkak hendak pulang, manakala gelombang pasang hendak menerjang. Ia hanyut bersama 2000 watt cahaya bohlam di saku mantelnya. Ia hanyut sehanyut-hanyutnya dalam keriuhan pasar-pasar yang dijarah, toko-toko yang dibakar, dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Mr. Hegel terjerumus ke dalam pusaran sejarah tanpa bisa melepaskan diri darinya. Ia hanyut mengikuti alur sejarah yang horor dari kota ke kota.
“Telah terjadi pembunuhan sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara aktor intelektual yang membagikan lembaran puluhan ribu dari Sang Dalang kepada para perusuh, penjarah, dan para avonturir.
“Telah terjadi pembusukan sejarah,” imbuhnya. Dan, provokator yang tertawa-tawa sengau menjadi momok menakutkan bagi bayi-bayi tabung di malam hari. Menjadi mimpi buruk dalam tidur mereka dan selalu berbuah kegetiran.
“Berkenalanlah denganku; bukan dewa kebenaran atau filsuf keadilan.”
“Telah Kau catat dalam kitab kejadian, aku bukanlah patung sejarah pembunuhan dan pembusukan massal atas kedaulatan hati nurani manusia. Akulah pembunuh dan pembusuk sejarah itu.” Ujar seseorang.
Entah siapa.
Tawanya mengumbar kematian, membuat orang-orang semakin bersembunyi di tabung televisi. Mereka semakin enggan melihat wajah mereka yang dirusak cuka.
Tembang-tembang kematian yang dinyanyikan oleh para nabi kemanusiaan mengalir seiring gemericik air mancur bercampur darah. mengalir seiring hujan yang tidak akan pernah berhenti sampai besok hari. Tembang-tembang horor yang digubah oleh siapa memenuhi tiap inci otak bayi- bayi tabung. Menjadi pengiring tidur malam mereka yang gelisah.
Sampai esok, mungkin ada tembang lain. Tetapi, yang terdengar hanyalah tembang-tembang kematian di antara hujan dan denyut aliran Musi yang terus bergolak rusuh sepanjang abad.
Keruh….
Sekeruh catatan sejarah yang terus berulang dan terpatri di dalam diri Mr. Hegel yang sudah membeku dan telah menjadi monumen di pinggiran kota Kosmopolitan Palembang. Tatakan semen di kakinya bertulisan; “TAHUN 5961-8661: UNTUK PERINGATAN SEPANJANG SEJARAH. ORDE YANG KITA LEWATI SELALU DITANDAI DENGAN KEMATIAN.”
Dan…,
Hari ini, jutaan orang dari masa lalu dengan amarah di kepalanya merobohkan patung Mr. Hegel. Tiap bongkahan patung itu, sebesar kepalan tangan kaum reformis, dijadikan makanan penutup akhir zaman. * * * * *
Sabtu, 20 November 2010

Pemuda Merah Bagi Para Demonstran

:kado buad Mahatma Muhammad,selamat atas prestasinya

jangan lalulalang saja para demonstran
sebab di jalan banyak daun pisang
hujan,di matamu karam
petinggi sunsang
       cukup huruhara saja
       dikamarkamar merajalela
       kertaskertas mata petuah yang lelah
       jadi kambing hitam jalanan Ibu kota
pemuda menarinari dibising jejak derita
tukang sampah hanyalah alasnya
tempat bercarutmarut yang dikatakata
        penguasa-pengusa
         serapah:serakah
                durja
jangan mundar-mandir saja,Hai
tak pasaipasai melukai  lekuk perisai
dada bung  yang membusung
dalam galon pendemo bayaran
ujung matamata meremah murka
uang diterima luka menganga
                  bung,dari pada bikin onar di kotakota
                           lebih baik mengaji di gedunggedung pemerintah
                                       baca puisi di barbar penguasa
                                            atau berlari sekencangkencangnya
                                       biar memar memecah pusara
                                                serakah;serapah   
janagan       lalu      lalang saja demonstran
biar tak lemah jadilah pemudah merah
riaria gembiragembira
satusatu kita berpegang teguh
dalam tubuh ibukbapak guru
lalu di rusuh kita berpacu
   :jadi pemuda peminum susu
    bukan bikin ricuh

YK,Lakitan,2010