Senin, 22 November 2010
ORDE KEMATIAN
cerita pendek yadhi rusmiadi jashar
HUJAN membakar kota dalam dingin yang membusukkan darah. Hujan telah menghanguskan sungai kuning di bawah Jembatan Ampera.
Kota yang dibakar hujan bersama linangan orbituari, telah diberitakan para nabi kemanusiaan pada seminar HAM sedunia. Hujan telah membakar kehangatan dan kedamaian istirahat Mahatma Ghandi, dan Hitler serta Westerling bercekakakan sambil memakan cacing tanah yang menempel di tulang tengkoraknya. Hujan membakar kubur mereka dalam aroma yang kontrastif.
“Demi manusia, telah turun hujan-Ku, untuk mengikis kebodohan mereka. Tetapi mereka selalu lupa bahwa Aku telah begitu banyak menguras air mata sampai Aku tidak dapat berhenti lagi.”
Dalam hujan.
Ia memakai mantel yang terbuat dari seling baja. Kemudian ia mengambil bohlam 2000 watt yang berpijar dan memindahkan cahayanya ke saku mantel. Mr. Hegel menyisi-nyisi di antara lipatan-lipatan hujan dan menghampiri bayi-bayi tabung yang masih berserakan di jalanan.
Ia membagikan cahaya bohlam 2000 watt kepada mereka. Bayi-bayi tabung berjingkrat-jingkrat. Cahaya bohlam 2000 watt menyinari dada mereka yang telanjang dengan sinarnya yang gilang gemilang: menyinari kegelapan masa depan umat sejagat yang lelah berharap Sang Penyelamat membawa obor penyejuk kepala.
Setelah puas bermain, mereka pasti akan pulang ke rumah masa lalunya. Mereka akan kembali menekuri episode selanjutnya dari puisi konkret kehidupan mereka.
Bayi-bayi tabung mendatangi Mrs. Hegel yag tengah membersihkan ceceran darah pada dinding-dinding sejarah yang kotor. Seribu tanya bermuncratan dalam kepala mereka. Seribu kebingungan memenuhi labirin otak mereka.
Mrs. Hegel mendelik, membungkam keingintahuan bayi-bayi tabung pada kotoran di dinding itu. Ia lalu memunguti satu persatu bayi–bayi tabung dan mengurung mereka di gudang tempat persediaan makan mereka 1314 hari tersimpan.
Di gudang itu pula, Mrs. Hegel mengalengi beras berkutu bercampur kerikil untuk makan mereka pukul tiga.
“Aku ingin menangkap angin,” suluk seorang bayi tabung sambil berancang-ancang mengejar milenium ketiga yang bertemperasan menerobos celah-celah dinding di gudang tanpa satupun bayi-bayi tabung mampu menghalanginya.
“Tetapi, kita terkungkung.” Bayi tabung yang lain menimpali dengan pesimisme yang akut.
“Aku ingin menangkap angin yang terperangkap di gudang ini.”
Bayi-bayi tabung berlarian di dalam gudang, memburu angin yang terperangkap lalu membakarnya dengan cahaya bohlam 2000 watt. Mereka tertawa sambil menggaruk koreng di hidungnya, menertawakan Mr. Hegel yang terbakar di antara tiga puluh dua tahun jalan tol yang mengangkangi lipatan-lipatan air hujan.
Mr. Hegel tengah menunggu pawai boneka-boneka bersenjata, menunggu seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kemungkinan, menunggu arak-arakan kematian di tengah badai yang menghanyutkan daki-daki sejarah pada dinding-dinding zaman.
“Aku hendak mencatat kebenaran sejarah,” ujarnya dalam orasi diam di kerumunan suara-suara hatinya. Kebisingan suara-suara di luar jatidirnya mengacaukan arus darah di saluran vena.
“Dan, ingat-ingatlah kawan, kita tidak dapat mencatat kembali sejarah agar sesuai dengan keinginan dan harapan kita,” kata Agathon, sang penyair Yunani, mengingatkan Mr. Hegel yang terperangkap dalam mitos-mitos Jules Verne: Idealisme para futuris.
Hujan masih saja berkepanjangan menghapus noktah-noktah sejarah dalam lembaran kitab Negara Kertagama. Hujan telah menghanyutkan kotoran aliran sungai Musi di dalam benak Mr. Hegel. Bayi-bayi tabung di gudang dan Mrs. Hegel yang tengah menanak nasi di dapur adalah sejarah aliran kotor sungai Musi yang dilupakan Mr. Hegel.
Mr. Hegel terlalu asyik mencatat sejarah kejayaan kedatuan Sriwijaya dan keperkasaan Mahapatih Gajah Mada. Ia melupakan sejarah dirinya sendiri dan bayi-bayi tabung serta Mrs. Hegel yang hidup digenangi sejarah yang kumuh.
“Aku ingin menangkap angin yang menghembuskan kebenaran sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara derap lars baja dan hilir mudik panser yang membadai. Seorang wartawan yang meliputnya hanyut diseret arus sejarah topi-topi baja.
“Anda harap minggir!”
“Tetapi, saya hanya menunaikan misi Tuhan.”
“Kami tidak peduli. Harap minggir!”
“Saya hanya ingin mencatat sejarah.”
“M I N G G I R !!”
Dan…
Mr. Hegel minggir setelah tonjokan keras singgah di mukanya. Mr. Hegel terbanting setelah popor senjata melekat di tulang pipinya. Ia tertelungkup mencium genangan air mata berjuta-juta kaum Sudra. Mantelnya yang berisi cahaya bohlam 2000 watt terkoyak di bagian punggung seluas pulau Jawa.
Bayi-bayi tabung menangis di gudang. Mereka telah membakar habis angin. Mrs. Hegel pun menangis di dapur setelah menghabiskan berliter-liter angin untuk menanak nasi berkerikil. Tujuh ribu enam ratus sembilan puluh sembilan janda dan anak yatim menangisi kematian suami dan bapak tercinta mereka dalam pergolakan tanpa nama. Sementara seseorang itu menghabiskan waktu menjual angin yang terbungkus jaket warna-warni di tengah hujan mulai reda.
“Angin…… Angin………. Angin. Siapa mau beli. Tidak mahal, Cuma seharga ketulusan dan optimisme yang liat,” teriak seseorang itu.
Tetapi, tidak ada seorangpun mau membeli angin di tengah badai ini. Orang-orang telah memiliki persediaan angin yang cukup untuk hidup mereka beberapa jam ke depan. Setelah itu, mereka hanya mampu memompa mimpi dan hanya ingin mengangon angan sebagai pengganti angin.
Mr. Hegel merangkak hendak pulang, manakala gelombang pasang hendak menerjang. Ia hanyut bersama 2000 watt cahaya bohlam di saku mantelnya. Ia hanyut sehanyut-hanyutnya dalam keriuhan pasar-pasar yang dijarah, toko-toko yang dibakar, dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Mr. Hegel terjerumus ke dalam pusaran sejarah tanpa bisa melepaskan diri darinya. Ia hanyut mengikuti alur sejarah yang horor dari kota ke kota.
“Telah terjadi pembunuhan sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara aktor intelektual yang membagikan lembaran puluhan ribu dari Sang Dalang kepada para perusuh, penjarah, dan para avonturir.
“Telah terjadi pembusukan sejarah,” imbuhnya. Dan, provokator yang tertawa-tawa sengau menjadi momok menakutkan bagi bayi-bayi tabung di malam hari. Menjadi mimpi buruk dalam tidur mereka dan selalu berbuah kegetiran.
“Berkenalanlah denganku; bukan dewa kebenaran atau filsuf keadilan.”
“Telah Kau catat dalam kitab kejadian, aku bukanlah patung sejarah pembunuhan dan pembusukan massal atas kedaulatan hati nurani manusia. Akulah pembunuh dan pembusuk sejarah itu.” Ujar seseorang.
Entah siapa.
Tawanya mengumbar kematian, membuat orang-orang semakin bersembunyi di tabung televisi. Mereka semakin enggan melihat wajah mereka yang dirusak cuka.
Tembang-tembang kematian yang dinyanyikan oleh para nabi kemanusiaan mengalir seiring gemericik air mancur bercampur darah. mengalir seiring hujan yang tidak akan pernah berhenti sampai besok hari. Tembang-tembang horor yang digubah oleh siapa memenuhi tiap inci otak bayi- bayi tabung. Menjadi pengiring tidur malam mereka yang gelisah.
Sampai esok, mungkin ada tembang lain. Tetapi, yang terdengar hanyalah tembang-tembang kematian di antara hujan dan denyut aliran Musi yang terus bergolak rusuh sepanjang abad.
Keruh….
Sekeruh catatan sejarah yang terus berulang dan terpatri di dalam diri Mr. Hegel yang sudah membeku dan telah menjadi monumen di pinggiran kota Kosmopolitan Palembang. Tatakan semen di kakinya bertulisan; “TAHUN 5961-8661: UNTUK PERINGATAN SEPANJANG SEJARAH. ORDE YANG KITA LEWATI SELALU DITANDAI DENGAN KEMATIAN.”
Dan…,
Hari ini, jutaan orang dari masa lalu dengan amarah di kepalanya merobohkan patung Mr. Hegel. Tiap bongkahan patung itu, sebesar kepalan tangan kaum reformis, dijadikan makanan penutup akhir zaman. * * * * *
HUJAN membakar kota dalam dingin yang membusukkan darah. Hujan telah menghanguskan sungai kuning di bawah Jembatan Ampera.
Kota yang dibakar hujan bersama linangan orbituari, telah diberitakan para nabi kemanusiaan pada seminar HAM sedunia. Hujan telah membakar kehangatan dan kedamaian istirahat Mahatma Ghandi, dan Hitler serta Westerling bercekakakan sambil memakan cacing tanah yang menempel di tulang tengkoraknya. Hujan membakar kubur mereka dalam aroma yang kontrastif.
“Demi manusia, telah turun hujan-Ku, untuk mengikis kebodohan mereka. Tetapi mereka selalu lupa bahwa Aku telah begitu banyak menguras air mata sampai Aku tidak dapat berhenti lagi.”
Dalam hujan.
Ia memakai mantel yang terbuat dari seling baja. Kemudian ia mengambil bohlam 2000 watt yang berpijar dan memindahkan cahayanya ke saku mantel. Mr. Hegel menyisi-nyisi di antara lipatan-lipatan hujan dan menghampiri bayi-bayi tabung yang masih berserakan di jalanan.
Ia membagikan cahaya bohlam 2000 watt kepada mereka. Bayi-bayi tabung berjingkrat-jingkrat. Cahaya bohlam 2000 watt menyinari dada mereka yang telanjang dengan sinarnya yang gilang gemilang: menyinari kegelapan masa depan umat sejagat yang lelah berharap Sang Penyelamat membawa obor penyejuk kepala.
Setelah puas bermain, mereka pasti akan pulang ke rumah masa lalunya. Mereka akan kembali menekuri episode selanjutnya dari puisi konkret kehidupan mereka.
Bayi-bayi tabung mendatangi Mrs. Hegel yag tengah membersihkan ceceran darah pada dinding-dinding sejarah yang kotor. Seribu tanya bermuncratan dalam kepala mereka. Seribu kebingungan memenuhi labirin otak mereka.
Mrs. Hegel mendelik, membungkam keingintahuan bayi-bayi tabung pada kotoran di dinding itu. Ia lalu memunguti satu persatu bayi–bayi tabung dan mengurung mereka di gudang tempat persediaan makan mereka 1314 hari tersimpan.
Di gudang itu pula, Mrs. Hegel mengalengi beras berkutu bercampur kerikil untuk makan mereka pukul tiga.
“Aku ingin menangkap angin,” suluk seorang bayi tabung sambil berancang-ancang mengejar milenium ketiga yang bertemperasan menerobos celah-celah dinding di gudang tanpa satupun bayi-bayi tabung mampu menghalanginya.
“Tetapi, kita terkungkung.” Bayi tabung yang lain menimpali dengan pesimisme yang akut.
“Aku ingin menangkap angin yang terperangkap di gudang ini.”
Bayi-bayi tabung berlarian di dalam gudang, memburu angin yang terperangkap lalu membakarnya dengan cahaya bohlam 2000 watt. Mereka tertawa sambil menggaruk koreng di hidungnya, menertawakan Mr. Hegel yang terbakar di antara tiga puluh dua tahun jalan tol yang mengangkangi lipatan-lipatan air hujan.
Mr. Hegel tengah menunggu pawai boneka-boneka bersenjata, menunggu seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kemungkinan, menunggu arak-arakan kematian di tengah badai yang menghanyutkan daki-daki sejarah pada dinding-dinding zaman.
“Aku hendak mencatat kebenaran sejarah,” ujarnya dalam orasi diam di kerumunan suara-suara hatinya. Kebisingan suara-suara di luar jatidirnya mengacaukan arus darah di saluran vena.
“Dan, ingat-ingatlah kawan, kita tidak dapat mencatat kembali sejarah agar sesuai dengan keinginan dan harapan kita,” kata Agathon, sang penyair Yunani, mengingatkan Mr. Hegel yang terperangkap dalam mitos-mitos Jules Verne: Idealisme para futuris.
Hujan masih saja berkepanjangan menghapus noktah-noktah sejarah dalam lembaran kitab Negara Kertagama. Hujan telah menghanyutkan kotoran aliran sungai Musi di dalam benak Mr. Hegel. Bayi-bayi tabung di gudang dan Mrs. Hegel yang tengah menanak nasi di dapur adalah sejarah aliran kotor sungai Musi yang dilupakan Mr. Hegel.
Mr. Hegel terlalu asyik mencatat sejarah kejayaan kedatuan Sriwijaya dan keperkasaan Mahapatih Gajah Mada. Ia melupakan sejarah dirinya sendiri dan bayi-bayi tabung serta Mrs. Hegel yang hidup digenangi sejarah yang kumuh.
“Aku ingin menangkap angin yang menghembuskan kebenaran sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara derap lars baja dan hilir mudik panser yang membadai. Seorang wartawan yang meliputnya hanyut diseret arus sejarah topi-topi baja.
“Anda harap minggir!”
“Tetapi, saya hanya menunaikan misi Tuhan.”
“Kami tidak peduli. Harap minggir!”
“Saya hanya ingin mencatat sejarah.”
“M I N G G I R !!”
Dan…
Mr. Hegel minggir setelah tonjokan keras singgah di mukanya. Mr. Hegel terbanting setelah popor senjata melekat di tulang pipinya. Ia tertelungkup mencium genangan air mata berjuta-juta kaum Sudra. Mantelnya yang berisi cahaya bohlam 2000 watt terkoyak di bagian punggung seluas pulau Jawa.
Bayi-bayi tabung menangis di gudang. Mereka telah membakar habis angin. Mrs. Hegel pun menangis di dapur setelah menghabiskan berliter-liter angin untuk menanak nasi berkerikil. Tujuh ribu enam ratus sembilan puluh sembilan janda dan anak yatim menangisi kematian suami dan bapak tercinta mereka dalam pergolakan tanpa nama. Sementara seseorang itu menghabiskan waktu menjual angin yang terbungkus jaket warna-warni di tengah hujan mulai reda.
“Angin…… Angin………. Angin. Siapa mau beli. Tidak mahal, Cuma seharga ketulusan dan optimisme yang liat,” teriak seseorang itu.
Tetapi, tidak ada seorangpun mau membeli angin di tengah badai ini. Orang-orang telah memiliki persediaan angin yang cukup untuk hidup mereka beberapa jam ke depan. Setelah itu, mereka hanya mampu memompa mimpi dan hanya ingin mengangon angan sebagai pengganti angin.
Mr. Hegel merangkak hendak pulang, manakala gelombang pasang hendak menerjang. Ia hanyut bersama 2000 watt cahaya bohlam di saku mantelnya. Ia hanyut sehanyut-hanyutnya dalam keriuhan pasar-pasar yang dijarah, toko-toko yang dibakar, dan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Mr. Hegel terjerumus ke dalam pusaran sejarah tanpa bisa melepaskan diri darinya. Ia hanyut mengikuti alur sejarah yang horor dari kota ke kota.
“Telah terjadi pembunuhan sejarah,” rintih Mr. Hegel di antara aktor intelektual yang membagikan lembaran puluhan ribu dari Sang Dalang kepada para perusuh, penjarah, dan para avonturir.
“Telah terjadi pembusukan sejarah,” imbuhnya. Dan, provokator yang tertawa-tawa sengau menjadi momok menakutkan bagi bayi-bayi tabung di malam hari. Menjadi mimpi buruk dalam tidur mereka dan selalu berbuah kegetiran.
“Berkenalanlah denganku; bukan dewa kebenaran atau filsuf keadilan.”
“Telah Kau catat dalam kitab kejadian, aku bukanlah patung sejarah pembunuhan dan pembusukan massal atas kedaulatan hati nurani manusia. Akulah pembunuh dan pembusuk sejarah itu.” Ujar seseorang.
Entah siapa.
Tawanya mengumbar kematian, membuat orang-orang semakin bersembunyi di tabung televisi. Mereka semakin enggan melihat wajah mereka yang dirusak cuka.
Tembang-tembang kematian yang dinyanyikan oleh para nabi kemanusiaan mengalir seiring gemericik air mancur bercampur darah. mengalir seiring hujan yang tidak akan pernah berhenti sampai besok hari. Tembang-tembang horor yang digubah oleh siapa memenuhi tiap inci otak bayi- bayi tabung. Menjadi pengiring tidur malam mereka yang gelisah.
Sampai esok, mungkin ada tembang lain. Tetapi, yang terdengar hanyalah tembang-tembang kematian di antara hujan dan denyut aliran Musi yang terus bergolak rusuh sepanjang abad.
Keruh….
Sekeruh catatan sejarah yang terus berulang dan terpatri di dalam diri Mr. Hegel yang sudah membeku dan telah menjadi monumen di pinggiran kota Kosmopolitan Palembang. Tatakan semen di kakinya bertulisan; “TAHUN 5961-8661: UNTUK PERINGATAN SEPANJANG SEJARAH. ORDE YANG KITA LEWATI SELALU DITANDAI DENGAN KEMATIAN.”
Dan…,
Hari ini, jutaan orang dari masa lalu dengan amarah di kepalanya merobohkan patung Mr. Hegel. Tiap bongkahan patung itu, sebesar kepalan tangan kaum reformis, dijadikan makanan penutup akhir zaman. * * * * *